![]() |
Josef Blasius Bapa |
JAKARTA — Partai Komunis Indonesia ( PKI ) tercatat sudah dua kali pernah mencoba melakukan kudeta militer. Pemberontakannya selalu disertai dengan pembunuhan dan pembantaian masal secara keji. Pertama adalah peristiwa pemberontakan untuk mendirikan Republik Soviet Madiun di wilayah Madiun, Jawa Timur pada tahun 1948, sedangkan yang kedua adalah Gerakan 30 September 1965 ( G / 30 S / PKI ) di Jakarta.
Kedua kejadian tersebut merupakan upaya dari PKI untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dan mengganti dasar negara kita, Pancasila. Namun ternyata kedua usaha tersebut gagal total. Sampai sekarang Pancasila tetap kokoh dan tetap tak tergoyahkan menjadi Dasar Negara Republik Indonesia. Setiap tanggal 1 Oktober, di seluruh masyarakat di Indonesia mengadakan upacara bendera dalam rangka memperingati Hari Kesaktian Pancasila.
Sejarah telah membuktikan, bahwa G / 30 S / PKI telah membunuh dan menghabisi beberapa pejabat penting TNI Angkatan Darat secara keji, yang kemudian dikenal dengan tujuh pahlawan revolusi. PKI telah menculik dan menyiksa mereka secara sadis, kemudian jenazahnya dimasukan ke dalam sumur sedalam 12 meter di daerah Lubang Buaya, dekat Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.
Ketujuh Pahlawan Revolusi tersebut adalah Menteri Panglima Angkatan Darat ( Menpangad ) Jenderal ( anumerta ) Ahmad Yani , Letnan Jenderal ( anumerta ) Suprapto, Letnan Jenderal ( anumerta ) Mas Tirtodarmo Haryono, Letnan Jenderal ( anumerta ) Siswondo Parman, Mayor Jenderal ( anumerta ) Donald Issac Pandjaitan, Mayor Jenderal ( anumerta ) Sutoyo Siswomiharjo dan Kapten CZI ( anumerta ) Pierre Tendean.
Karena terjadi kekosongan pucuk pimpinan komando Angkatan Darat, maka Panglima Komando Strategis Angkatan Darat ( Pangkostrad ) yang pada waktu itu dijabat Letnan Jenderal Soeharto, segera bertindak cepat dan mengambil alih pucuk pimpinan TNI Angkatan Darat. Pangkostrad memang punya kewenangan untuk mengambil alih komando Angkatan Darat, jika Menpangad sedang berada di luar negeri atau yang bersangkutan sedang berhalangan ( sakit / meninggal ).
Pangkostrad Letnan Jenderal Soeharto, langsung berkoordinasi dengan seluruh pucuk pimpinan TNI dan Polisi untuk segera mengambil langkah – langkah strategis guna memulihkan situasi keamanan dan ketertiban di Ibukota DKI Jakarta. Pangkostrad segera menerapkan jam malam dalam beberapa hari, yang bertujuan untuk membatasi warga masyarakat sipil tidak lalu – lalang keluar rumah, kecuali hanya yang berkepentingan.
Pangkostrad saat itu memimpin langsung pasukan Kodam Jaya dan Resimen Para Komando Angkatan Darat ( RPKAD ) untuk segera mengambil alih kembali obyek – obyek vital yang sebelumnya dikuasai pemberontak G / 30 S / PKI. Antara lain kantor Radio Republik Indonesia ( RRI ), kantor Televisi Republik Indonesia dan Kantor Berita Indonesia, Antara.
Kisah heroik dan keberanian Pangkostrad Letnan Jenderal Soeharto ketika itu diungkapkan secara langsung oleh Josef Blasius Bapa, yang pada waktu itu menjadi wartawan sekaligus juga sebagai Wakil Pimpinan Harian Pusat Pemberitaan Angkatan Bersenjata ( PABI ). Dia masih ingat dan ikut serta saat Pangkostrad berbicara yang siarannya dipancarkan secara langsung oleh RRI, bahwa G / 30 / S / PKI telah berhasil ditumpas dan masyarakat dihimbau tetap tenang.
” Tak dapat terbantahkan lagi, itu merupakan salah satu bukti nyata bahwa Pangkostrad Letnan Jenderal Soeharto telah berhasil menyelamatkan Dasar Negara kita Pancasila, dari rong-rongan dan percobaan kudeta yang dilakukan oleh G / 30 S / PKI ” kata Josep Blasius Bapa, saat ditemui Cendana News di Hotel Le Meredien, Jalan Jendral Sudirman, Jakarta Pusat.
Josef menambahkan, terserah mau diakui atau tidak, misalnya Pangkostrad Letnan Jenderal Soeharto tidak bergerak cepat untuk menumpas G / 30 S / PKI, mungkin sekarang ceritanya akan lain, maka sudah sepantasnya menurut saya, Jenderal Besar H.M. Soeharto mendapatkan anugerah gelar pahlawan nasional,” pungkasnya saat mengakhiri pembicaraan.[JURNALIS : EKO SULESTYONO]