2017 Bisa Menjadi Antiklimaks Sektor Listrik

Wakil Ketua Umum Kadin Kawasan Timur Indonesia (KTI), Andi Rukman Karumpa, mengemukakan, meski evaluasi kontrak tersebut dilakukan untuk pembangkit di Pulau Jawa, namun cukup membuat investor di KTI menjadi was-was.

Ia berpendapat, hal itu memunculkan was-was kalau evaluasi menjalar sampai ke pembangkit yang terletak di KTI, begitu pula kecemasan bagi investor selain sektor kelistrikan.

Waketum Kadin menuturkan, kekhawatiran para pengusaha itu beralasan, karena biaya produksi listrik di KTI sangat tinggi, sehingga investasinya pun tidak seefisien di Jawa atau bagian barat Indonesia.

Apalagi, lanjutnya, evaluasi kontrak PPA di sejumlah pembangkit di pulau Jawa dapat menjadi inspirasi untuk membuat langkah serupa di wilayah lain.

Sedangkan Wakil Bendahara Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta (APLSI), Rizka Armadhana, mengingatkan evaluasi kontrak tersebut dapat menimbulkan hilangnya kepercayaan investor kepada pemerintah.

Porsi pengembang swasta atau independent power producer (IPP) dalam megaproyek 35.000 megawatt (MW) mencapai 25.000 MW atau lebih besar dari porsi PLN yang hanya 10.000 MW, dengan total dana pembangunan porsi IPP mencapai Rp615 triliun.

Untuk itu, APLSI meminta pemerintah memberikan insentif kepada IPP untuk mempercepat pembangunan pembangkit. Insentif itu juga mengingat selain pendanaan dan aturan yang kerap berubah, IPP dihambat oleh permasalahan seperti aspek lingkungan, sengketa lahan, dan perizinan.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Hipmi, Yaser Palito, juga mengingatkan, bahwa inkonsistensi regulasi dalam sektor ketenagalistrikan berdampak pada banyaknya pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) di berbagai daerah, mangkrak.

Lihat juga...