Yaser memaparkan, data dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan, banyak pembangkit listrik EBT yang rusak, atau tepatnya sekitar 142 proyek EBT, terbengkalai setelah dibangun.
Menurut dia, 142 EBT tersebut dapat dicegah dari keadaan mangkrak atau macet, bila regulasi investasinya cukup mendukung, sehingga sejak awal pengerjaan proyek tersebut dikerjakan secara profesional.
Pada saat ini, ia menilai proyek tersebut menjadi asal-asalan, karena setelah diserahkan kepada pemda yang akan mencari mitra swasta, dicemaskan tidak ada pihak swasta yang menginginkan, karena harga listrik yang ditawarkan tidak menarik, sementara biaya investasi dan pemeliharaannya besar.
Wakil Ketum Hipmi, mengatakan, pada saat disusun harga EBT pada 2009, sebenarnya harga EBT dibuat semenarik mungkin guna menarik minat swasta.
Namun, belakangan, lanjutnya, berbagai revisi membuat peminat EBT menurun dan kebijakan akhir-akhir ini membuat perbankan dalam negeri sulit memberikan pinjaman kepada pengusaha karena sudah dipatok dengan tarif tetap dan rendah.
Sebelumnya, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar, mengatakan, investasi energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia masih menjanjikan bagi para pengembang.
Dalam kunjungannya ke PLTBg di Jangkang, Belitung, Jumat (15/12), Wamen ESDM kembali menyampaikan, bahwa minat investasi energi terbarukan meningkat, khususnya pada wilayah yang biaya pokok penyediaan (BPP) wilayahnya lebih tinggi daripada BPP nasional.
Arcandra mengungkapkan, secara total di Indonesia, selama 2017 telah ditandatangani 68 power purchase agreement (PPA) pembangkit energi terbarukan antara PLN dengan pengembang. Angka ini bahkan naik empat kali lipat dari data pada tahun sebelumnya hanya 16 PPA energi terbarukan.