PALEMBANG — Target produksi karet Provinsi Sumatera Selatan sebanyak 1,3 juta ton pada 2018 dipastikan meleset pada tahun ini karena per Desember hanya tercapai sekitar 1,1 juta ton.
Penyebabnya tak lain karena penurunan harga di tingkat petani yakni dari harga ideal Rp13.000/kg menjadi Rp7.000/kg sebagai dampak dari banjirnya pasokan di pasaran internasional.
Akibatnya, banyak kebun karet yang didiamkan begitu saja oleh petani. Namun, ada juga petani yang tetap menggarapnya karena tidak memiliki pilihan lain.
Ketua Gabungan Pengusaha Karet Indonesia Provinsi Sumatera Selatan Alex K Eddy mengatakan pada 2016, kondisi ini sejatinya jauh lebih parah karena produksi karet hanya 900 ribu ton.
“Semula kami berharap banyak di tahun ini, karena di awal tahun ada perbaikan harga, tapi ternyata harga tetap belum terangkat karena memang di pasaran internasional sedang kelebihan suplai sekitar tiga juta ton,” kata dia.
Saat ini harga karet di perdagangan internasional hanya sekitar 1,4 dolar AS per kilogram, atau masih jauh dari harapan menyentuh dua dolar per kg.
Lebih buruk lagi, harga karet di tingkat petani dalam tiga tahun ini “terjun bebas” di kisaran Rp6.000-Rp8.000 per kilogram. Data hasil lelang terbaru di UPPB Desa Sukamaju per 4 Desember 2018 hanya seharga Rp8.900/kg.
Seorang petani karet Mesuji Raya, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel, Anwar mengatakan saat ini petani karet hanya mendapatkan pemasukan sekitar Rp700.000 dari lahan seluas satu hektare.
Tak ayal kondisi ini membuat petani karet mendiamkan lahannya dan beralih bekerja serabutan seperti menjadi buruh.
“Banyak yang kerja di perkebunan sawit atau pergi ke kota jadi buruh,” kata dia.