Jejak Pemberdayaan UMKM di Tengah Lumbung Batu Bara

Ia meyakini produk hortikultura cukup prospektif karena ada kontinyuitas permintaan walau harganya fluktuatif. Setelah dipotong biaya produksi dan cicilan Kredit Usaha Rakyat, hasil bertani dibagi dua sama rata antara pemilik tanah dan si penggarap lahan.

“Saya harus mengubah pola pikir masyarakat, karena 75 persen warga sebagai petani karet. Bagaimana caranya agar sore hari ada kegiatan bertani,” kata Misrani.

Di masa awal bertani, petani cuma menjual sayuran ke pengepul. Menginjak 2016, petani kian sumringah karena bisa melego sayuran ke ritel modern. Petani punya banyak alternatif pemasaran, tidak sekedar bergantung pengepul sayuran.

“Selama ini semua sayuran selalu laku diambil pasar, jarang tersisa,” ucap dia.

Selain bertani, beberapa kelompok tani di bawah naungan Gapoktan Kayuh Baimbai menekuni peternakan ayam pedaging, ayam petelur, dan perikanan budidaya. Peternak ayam pedaging sudah membentuk sistem plasma dengan perusahaan besar.

Lain halnya di Desa Hiyung, Kecamatan Tapin Tengah, Kabupaten Tapin. Kelompok Tani Karya Baru makin piawai mengolah produk pasca panen cabai hiyung menjadi abon cabai. Selain menyuplai permintaan pasar tradisional, pemasaran cabai hiyung merambah ritel modern.

Menurut Ketua Kelompok Tani Karya Baru, Junaidi, produk pasca panen sebagai alternatif ketika harga cabai hiyung anjlok. Sebab, daripada dilego murah, kata dia, petani lebih memilih membuat abon cabai yang punya daya tahan lebih lama dengan harga jual kompetitif.

“Kalau harga cabai Rp15 ribu per kilogram, lebih baik dikeringkan dan dijadikan abon, harga jualnya Rp 20 ribu per botol kecil,” ujar Junaidi.

Lihat juga...