Masih Banyak Putusan Belum Penuhi Rasa Keadilan

JAKARTA – Jelang pergantian tahun, pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla banyak mendapat apresiasi berkat giatnya pembangunan infrastruktur di seluruh penjuru tanah air.

Namun, di balik itu, masih banyak “pekerjaan rumah” yang mesti dituntaskan oleh pemerintah. Salah satunya terkait kepastian pelaksanaan hukum nasional yang saat ini masih cukup carut-marut, hingga sekelompok masyarakat harus menjadi korban akibat kebijakan yang kurang berpihak.

Sebagaimana disampaikan para pemikir kontraktarian seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan J.J Rousseau, negara wajib melindungi hak mendasar sekelompok masyarakat yang telah mengikrarkan diri sebagai warga negara melalui sistem hukum yang menjamin adanya kepastian, keadilan, dan kesejahteraan bagi masyarakat.

Dalam karya monumentalnya, “Two Treatises of Government” (1689), Locke menjelaskan, negara harus menjamin hak hidup (lives), kebebasan (liberty), dan kepemilikan (prosperity) seluruh warganya.

Pemikiran Locke itu kemudian disistematisasi melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang disahkan pada 1948.

Deklarasi yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia dalam sistem perundang-undangan nasional mengatur, bahwa hak mendasar mencakup di antaranya diperlakukan secara setara, bebas dari diskriminasi, hak diperlakukan setara di depan hukum, hak mendapat ampunan dari pengadilan, dan hak untuk berpartisipasi di pemerintahan serta mengikuti pemilihan umum secara bebas dan terbuka.

Namun, di banyak kasus, nyatanya sistem hukum nasional gagal mengakomodasi hak mendasar sekelompok masyarakat. Masih banyak putusan peradilan yang kurang mampu memenuhi rasa keadilan, apalagi hati nurani (conscience) sebagian besar masyarakat, khususnya di sejumlah kasus seperti putusan bebas Sudjiono Timan dan pemberian tambahan hukuman (pencabutan hak politik) dari seseorang yang sudah berusia menjelang 70 tahunan, Barnabas Suebu.

Lihat juga...