Patung Kepala Besar

CERPEN TJAK S. PARLAN

DALAM udara dingin ia menunggu di atas perahu motor itu. Sudah dua hari, demam tak kunjung hengkang dari tubuhnya. Seorang dokter Puskesmas setempat menyarankannya minum obat, makan yang teratur, dan istirahat yang cukup.

Tapi malam itu ia tak bisa beristirahat dengan tenang. Ia tak bisa menunggu lagi. Patung-patung itu harus segera dipindahkan. Maka, malam itu juga, bersama tiga orang penyelam yang dikenalnya, ia membawa patung-patung itu ke lokasi yang telah disepakati.

“Pukul berapa ombak mulai tinggi?”

“Setengah jam lagi. Tenang saja, di bawah arusnya tenang.”

Ia melirik arloji di tangannya dan percaya saja pada pemilik perahu motor itu. Bertahun-tahun hidup di pesisir tak membuatnya mengerti banyak tentang laut. Padahal ia memiliki hubungan dekat dengan orang-orang yang menjadikan laut sebagai tumpuan hidup.

Tiga penyelam yang tengah mengurus patung-patung ciptaannya di bawah laut yang dingin itu adalah beberapa di antaranya. Mereka sering mengatakan padanya bahwa ada banyak hal yang indah di bawah laut. Tapi setiap kali ia membayangkan apa yang terjadi di bawah sana, tengkuknya merinding. Ingin sekali ia berada di sana, melawan rasa gentar dan dingin yang menjalari sekujur tubuhnya.

“Demam keparat!” umpatnya menahan gigil.

“Rokok?”

Ia menggeleng, menolak tawaran pemilik perahu motor itu. Tak berapa lama, seseorang muncul di permukaan laut, disusul dua orang lainnya. Ia dan pemilik perahu motor itu segera mengulurkan tangan, membantu mereka menaiki perahu.

“Yakin, kau tak mau menengok dulu ke bawah?” tanya seorang penyelam.

Ia menatap sejenak laki-laki di depannya itu, lalu menggelengkan kepalanya.

Lihat juga...