JENEWA – Sekelompok masyarakat adat Muslim di Pulau Mindanao, Filipina, mengalami pelanggaran hak asasi meluas dan akan semakin bertambah dengan perpanjangan darurat militer, yang ditetapkan Presiden Rodrigo Duterte, kata pakar Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Duterte menyebut pulau itu “titik masalah” dan kekejaman oleh pemberontak garis keras dan komunis. Pembuat undang-undang pada bulan ini sangat mendukung rencana perpanjangan darurat militer di wilayah itu hingga 2018, yang akan menjadi masa darurat militer terpanjang di negara itu sejak 1970-an, pada masa Ferdinand Marcos.
Militerisasi memaksa ribuan warga Lumad mengungsi dan beberapa di antaranya tewas, kata Victoria Tauli-Corpuz dan Cecilia Jimenez-Damary, pelapor khusus Dewan Hak Asasi Manusia PBB tentang hak masyarakat adat dan orang terlantar.
“Mereka mengalami pelanggaran hak asasi berat, beberapa di antaranya berpotensi tidak dapat dikembalikan kepada keadaan semula,” kata dua pelapor itu dalam pernyataannya.
“Kami khawatir situasinya bisa bertambah buruk jika masa perpanjangan darurat militer diterapkan sampai akhir 2018, hal tersebut bahkan dapat menghasilkan tindakan militerisasi yang lebih besar,” tambahnya.
Berdasarkan atas hukum internasional, Filipina diwajibkan untuk melindungi masyarakat adat dan memastikan penghentian tindak pelanggaran hak asasi manusia dan mengadili para pelakunya.
“Pelanggaran tersebut mencakup perkara pembunuhan dan serangan yang dituduhkan telah dilakukan oleh anggota angkatan bersenjata,” kata mereka.
Pemerintah khawatir, bahwa Mindanao, pulau dengan keadaan alam berupa pegunungan dan berhutan serta memiliki wilayah seukuran Korea Selatan yang merupakan rumah bagi masyarakat Lumad, dapat menarik masuk pemberontak asing.