“Masa depan mereka akan suram, tidak ada harapan. Mereka butuh nutrisi, jaminan kesehatan yang baik, madrasah (sekolah) yang baik untuk membentuk mereka,” tandas Humidor
Humidor tidak asal omong karena apa yang dikatakannya itu tepat dirasakan oleh anak-anak Rohingya meski mereka belum mengerti apa yang telah terjadi pada mereka. Di antara anak-anak Rohingya yang dicabut paksa dari akar dan hak paling asasinya itu adalah Tosmin.
Usia Tosmin masih empat tahun, tetapi ia sudah tidak berayah, tidak beribu. Ibunya meninggal dunia sejak usianya masih satu tahun. Sementara ayahnya dibunuh di suatu tempat di Myanmar. Tosmin dibawa neneknya, Mobina, melarikan diri ke Bangladesh.
Saat ditemui di kamp pengungsian, wajah Tosmin kotor belepotan, seperti kebanyakan anak-anak Rohingya lain yang jarang memakai baju dan alas kaki. “Saya tidak tahu rencana ke depan bagaimana untuk dia. Saya hanya memberikan dia makan saja,” kata Mobina.
Tosmin tidak sendiri. Dari 650.000 warga Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh, separuhnya adalah anak-anak. Dan sekitar 14.000 dari mereka, yatim piatu. “Anak-anak Rohingya mungkin masih bisa tertawa dan bermain, tetapi mereka sebenarnya menderita. Semoga pengungsi Rohingya bisa kembali ke Myanmar dengan hak dan martabat yang utuh,” harap Humidor.
Pengungsi Rohingya lainnya Mokhtar Ahmad (30) juga menegaskan tidak ingin kembali ke Myanmar jika kondisi yang mereka terima nanti masih sama dengan keadaan sebelum mereka mengungsi ke Bangladesh. “Kalau bisa hidup layak, bisa bekerja, bisa sekolah, bisa beraktivitas tanpa dibatasi, saya mau kembali. Kalau tidak dan masih sama seperti dulu, saya tidak mau,” kata Mokhtar yang mengaku sempat ditembaki tentara Myanmar saat rumahnya dibakar.