UU Penodaan Agama Untuk Menjamin Kerukunan
JAKARTA — Berlakunya Undang-Undang PNPS Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama seharusnya dipahami sebagai tindakan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama merupakan persoalan serius.
Hal tersebut disampaikan Prof. Dr. M. Ridwan Lubis, MA Guru Besar Ilmu Perbandingan Agama, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagai ahli dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang diajukan oleh Komunitas Ahmadiyah di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (19/12/2017).
Menurut Ridwan, UU Penodaan Agama tetap diperlukan guna memelihara kesatuan kebijakan nasional dalam menangani adanya penyimpangan terhadap makna luhur dari kebebasan beragama.
“Sebagai upaya memelihara kerukunan nasional dan ketinggian martabat umat manusia, maka keberadaan UU Penodaan Agama perlu lebih dipertegas lagi dengan merumuskan ketentuan yang lebih konkret tentang makna penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Sehingga aparatur Pemerintah dan masyarakat memiliki kriteria yang terukur agar tidak menimbulkan sikap yang multitafsir,” katanya.
Lebih jauh, Ridwan memaparkan adanya UU Penodaan Agama tidak mempunyai korelasi dengan pembatasan kebebasan beragama. Hal ini karena kebebasan beragama termasuk memilih dan menghayati suatu keyakinan agama adalah hak setiap orang yang dijamin oleh undang-undang.
Karena itu, lanjutnya, ketika seorang berbicara terhadap dirinya berkenaan dengan penghayatan keyakinan agamanya, maka hal tersebut hak asasi yang telah dijamin oleh perundang-undangan.
“Namun, ketika kebebasan personal itu dibawa dirinya, maka pada saat itu telah terjadi pembatasan agar tetap terpilihara kerukunan dan ketertiban masyarakat agar tidak bersinggungan dengan kebebasan yang juga dimiliki oleh orang lain. Dengan demikian, Undang-Undang PNPS Nomor 1 Tahun 1965 semata-mata hanya berbicara tentang tata laku ketika seorang berbicara dengan orang lain di luar dirinya,” ungkapnya.