Warga Penolak Relokasi Bandara Kulon Progo Tetap Bertahan

YOGYAKARTA –  Di antara puing-puing bekas bangunan serta pepohonan yang seluruhnya telah rata dengan tanah, rumah milik Guntoro, di Dusun Kepek, Glagah, Temon, Kulonprogo nampak masih tegak berdiri. Sebuah bendera merah putih terlihat berkibar lantang di ujung atap genting. 
Di sekeliling rumah itu, hampir tak ada lagi bangunan atau pohon-pohon yang tersisa. Seluruhnya telah dirobohkan dengan alat berat hingga menutup setiap jalan masuk menuju rumah tersebut.
Sejak dua hari terakhir, aliran listrik di rumah itu bahkan telah diputus. Guntoro, seorang istri dan ketiga anaknya harus rela tinggal di dalam kegelapan setiap malam tiba. Padahal 2 orang anaknya yang duduk di bangku SD dan SMP tengah melaksanakan ujian sekolah.
Puing rumah yang rata tanah untuk relokasi bandara. Foto: Jatmika H Kusmargana
Guntoro merupakan salah satu dari sejumlah warga yang hingga saat ini masih bersikeras menolak dipindah pasca adanya pembangunan bandara baru New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Temon, Kulonprogo.
Ia memaksa bertahan menempati rumahnya, meski hampir seluruh warga di dusunnya telah pindah ke tempat relokasi baru secara bersama atau bedhol desa.
“Sejak awal saya menolak pindah apalagi menjual rumah ini. Ini rumah saya, saya lahir dan besar disini. Sampai kapanpun saya juga tetap akan disini,” tegas Guntoro yang tergabung dalam kelompok Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulonprogo itu, Rabu (6/12/2017) . 
Terjadinya peristiwa kericuhan saat proses eksekusi pengosongan lahan hingga mengakibatkan sejumlah warga terluka dan belasan aktivis penolak penggusuran ditangkap, pada Selasa (5/12/2017) kemarin, dikatakan tak melunturkan tekad Guntoro. 
“Saya tetap akan bertahan bagaimanapun nantinya. Istri dan anak saya sudah saya yakinkan. Saya hanya memperjuangkan hak-hak saya,” katanya. 
Kepada Cendana News Guntoro menuturkan alasan kenapa dirinya begitu ngotot ingin tetap tinggal di rumah dan dusun kelahirannya. Lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai petani sekaligus penambak udang itu mengaku telah nyaman hidup di tanah leluhurnya itu. 
“Sebelum ada rencana pembangunan bandara, kita petani disini hidup damai. Makan dan hidup dari hasil tani dan bercocok tanam. Disini aman, tidak pernah ada gempa atau banjir. Tanahnya subur, tidak pernah kesulitan air. Tapi kenapa kita dipaksa pindah dan bekerja jadi buruh bandara,” ujarnya. 
Guntoro sendiri mengaku tidak menolak adanya pembangunan bandara baru di Kulonprogo. Ia hanya ingin tetap tinggal di rumah dan lahan pertanian yang selama ini jadi tumpuan hidupnya. Meski dengan kondisi saat ini, ia dan keluarganya harus bertahan dengan segala keprihatinan yang ada. 
“Saya merasakan negara ini sudah tidak ada lagi. Apa gunanya negara. Apa gunanya pemerintah. Saya sudah tidak percaya lagi dengan apa itu negara dan pemerintah,” tegasnya yang mengaku belum sekalipun ditemui langsung dan diajak bicara oleh petinggi pihak Angkasa Pura maupun pemerintah baik Lurah, Camat atau Bupati. 
Lihat juga...