WASHINGTON – Satu studi yang disiarkan pekan ini di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences, menyatakan, bahwa mempertahankan pemanasan global sebesar 1,5 sampai dua derajat Celsius mungkin lebih sulit daripada perkiraan sebelumnya.
Studi yang dilakukan oleh para ilmuwan dari Australia, Swedia dan Denmark, menyebut, sekalipun pengurangan buangan karbon yang diserukan di dalam Kesepakatan Paris dipenuhi, ada risiko Bumi memasuki apa yang dikatakan oleh para ilmuwan “Hothouse Earth”.
Iklim “Hothouse Earth” dalam jangka panjang akan stabil pada kondisi rata-rata global empat sampai lima derajat Celsius lebih tinggi daripada temperatur pra-industri, dengan tingkat permukaan air laut 10 sampai 60 meter lebih tinggi daripada hari ini.
Saat ini, temperatur rata-rata global hanya lebih satu derajat di atas temperatur pra-industri, dan naik 0,17 derajat per dasawarsa.
“Pemanasan global ulah manusia dua derajat Celsius, mungkin memicu proses lain sistem Bumi, yang seringkali disebut ‘umpan balik’, yang dapat memicu pemanasan lebih jauh, sekalipun kita menghentikan buangan gas rumah kaca,” kata penulis dokumen itu, Will Steffen, dari Australian National University, sebagaimana dikutip Xinhua –yang dipantau di Jakarta, Sabtu (11/8/2018).
Para peneliti tersebut mempertimbangkan 10 proses umpan-balik alam, yang sebagian adalah “anasir puncak” yang mengarah kepada perubahan mendadak, jika jejak penting dilewati.
Umpan-balik itu adalah: pencairan lapisan es bawah permukaan, hilangnya metana hidrat dari dasar samudra, tanah yang melemah dan tenggelamnya karbon samudra, peningkatan respirasi bakteri di samudra, kematian hutan hujan Amazon, kematian hutan utara, berkurangnya lapisan es belahan Bumi Utara, hilangnya es samudra musim panas Kutuk Utara dan berkurangnya lapisan es Kutub Selatan dan lapisan es kutub.
“Semua unsur puncak ini dapat berpotensi bertindak seperti deretan kartu domino. Segera setelah satu didorong, unsur tersebut mendorong Bumi ke arah yang lain,” kata penulis bersama dokumen itu, Johan Rockstrom, Direktur Pelaksana Stockholm Resilience Centre.
“Mungkin sangat sulit atau tidak mungkin untuk menghentikan seluruh deret domino untuk jatuh,” kata Rockstrom.
Untuk menghindari skenario tersebut, tidak cukup hanya mengurangi karbon dioksika dan buangan gas lain rumah kaca. Peningkatan dan pembentukan penyimpanan baru karbon biologi, pelestarian keragaman hayati dan teknologi yang menghilangkan karbon dioksida dari atmosfir dan menyimpannya di bawah tanah, diperlukan.
“Iklim dan perubahan global memperlihatkan kepada kita, bahwa kita manusia mempengaruhi sistem Bumi pada tingkat global,” kata penulis lain studi tersebut, Katherine Richardson, dari University of Copenhagen. (Ant)
Doa Mbah Maimun Pertanda Jokowi akan Kalah? CATATAN POLITIK - Doa Mbah Maimun, kiai senior dan pimpinan pesantren legendaris Sarang, menjadi perbincangan khalayak luas.
Pesantren Sarang dik...
Menyerang Pak Harto Demi Popularitas Politik Tahun 2019 merupakan tahun politik. Tanggal 17 April 2019 dilaksanakan Pemilu Presiden, DPR RI, Dewan Perwakilan Daerah RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kot...
Raja Ampat, Wisata Peradaban Umat PILIHAN Majlis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengadakan Rapat Kerja Nasional 2018 di Raja Ampat, pada 22-24 November 2018 mendatang, tentu selaras denga...
Yang Masih Dicekam Gelap di Tepi Kemusuk BANYAK orang menyepakati, senja selalu menjadi keajaiban panorama yang dinantikan oleh banyak orang di tepi pantai. Bahkan, rona senja yang kuning kee...