Pakar: Anjloknya Rupiah Akibat Struktur Ekonomi, Lemah
Editor: Koko Triarko
SOLO – Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang sempat bertengger hingga Rp15.029 per dollar AS, dinilai masih hal yang biasa. Hal ini lantaran struktur ekonomi Indonesia yang terlihat terus melemah dari beberapa bulan terakhir, hingga akhirnya rupiah anjlok terdalam sejak 20 tahun terakhir.
Pakar Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Lukman Hakim, mengungkapkan, anjloknya rupiah diakibatkan struktur ekonomi Indonesia yang lemah. Kondisi ini terlihat dari neraca perdagangan Indonesia yang masih lesu, karena nilai ekspor dan impor yang hanya beda tipis.
“Saya lihat kondisi saat ini masih sesuatu yang biasa saja. Kenapa? Karena susungguhnya struktur ekonomi kita memang lemah. Nilai ekspor dan impor hanya beda tipis. Inilah yang membuat ekonomi kita lemah, karena nilai tukar rupiah diukur dari situ,” papar Lukman Hakim, saat ditemui Cendana News di ruang kerjanya, Kamis (6/9/2018).
Solusi untuk membangun rupiah agar bisa bangkit dan kuat, hanya bisa dilakukan dengan kerja panjang. Yakni, dengan meningkatkan nilai ekspor, terutama di bidang industri. Namun, meningkatkan sektor ekspor di bidang industri tidak bisa dilakukan serta merta tanpa menyiapkan sistem ekonomi jangka panjang.
“Kalau solusi jangka pendek yang bisa dilakukan pemerintah hanya dengan menaikkan suku bunga. BI harus menaikkan suku bunga, agar tidak ada kondisi di mana banyak orang ramai-ramai menarik dollar dari Indonesia. Istilahnya biar nyaman,” urainya.
Wakil Dekan III Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UNS, menyebut, siapa pun presidennya, kondisi ekonomi Indonesia saat ini memang berat. Sebab, di samping tantangan perdagangan internasional, perang dagang antara Cina dan Amerika tidak bisa terhindarkan. Melemahnya ekonomi Indonesia, terutama di sektor ekspor terjadi tidak hanya dalam dekade 10 tahun terakhir. Lukman menilai, sektor ekspor Indonesia melemah bahkan sejak reformasi, 1998.
Lemahnya sektor ekspor disebabkan barang-barang yang diekspor Indonesia ke berbagai negara di dunia tidak lagi bidang industri. Pascareformasi justru bahan-bahan baku yang banyak diekspor ke berbagai negara di dunia. Seperti hasil tambang, seperti batu bara maupun hasil perkebunan yang masih bentuk bahan mentah, seperti kelapa sawit.
Pada pemerintahan Presiden Megawati, misalnya, saat itu pemerintah Indonesia memiliki perjanjian dengan Cina untuk perdagangan tambang. Saat itu, nilai ekspor memang besar, namun setelah terjadi perang dagang, Cina mengurangi nilai ekspor Indonesia.
“Justru setelah reformasi, kita gagal melakukan transformasi ekspor di bidang industri. Yang menambah nilai banyak itu justru industri, misalnya manufaktur,” terang Lukman.
Pengamat Ekonomi UNS ini meminta pemerintah serius menangani persoalan rupiah. Sebab, jangan sampai ada gerakan-gerakan yang menyebabkan ekonomi terus melemah, seperti yang terjadi pada krisis moneter 1998.
Baca Juga