Gedung Pewayangan Kautaman Lestarikan Filosofi Kehidupan
Editor: Koko Triarko
JAKARTA – Gedung Pewayangan Kautaman, berada dalam satu lingkaran besar kawasan wisata dan pelestarian budaya Taman Mini Indonesia Indah (TMII), yang diresmikan oleh Ketua Yayasan Harapan Kita (YHK), HM Soeharto, pada 18 April 1999.
Pimpinan Gedung Pewayangan Kautaman, Maliki Mift, menjelaskan, Pak Harto yang merupakan Presiden kedua RI, sangat menyukai seni pertunjukkan wayang. Dalam pewayangan terdapat nilai-nilai filosofi kehidupan yang universal.
Meski pertunjukkan wayang menampilkan kisah atau cerita yang berasal dari peradaban Hindu, seperti Mahabarata dan Ramayana, namun dalam wayang terdapat nilai-nilai filosofi kehidupan yang universal. Pertunjukkan wayang juga tetap dapat dinikmati dan diapresiasi oleh mereka yang memeluk agama lain. Bahkan, pada masa-masa penyebaran Islam di tanah Jawa oleh Wali Songo, ternyata wayang digunakan sebagai media dakwah yang sangat efektif.
Dalam berbagai kesempatan, Pak Harto menyaksikan pertunjukkan wayang yang digelar di TMII. Tak hanya itu, Pak Harto dengan lancar menuturkan kisah-kisah dalam pertunjukkan wayang yang disaksikannya, dan mengungkapkan nilai-nilai filosofi yang terkandung dalam suatu kisah pewayangan.

“Seperti dituturkan oleh putri sulung Pak Harto, Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut Soeharto), yakni ayahnya kerap memberikan pituduh maupun wewaler tentang bagaimana menjalani dan menyikapi kehidupan, disarikan dari kisah-kisah pewayangan,” jelas Maliki, kepada Cendana News, Rabu (24/10/2018).
Kedua orang tua Mbak Tutut, yakni Pak Harto dan Ibu Siti Hartinah (Ibu Tien Soeharto), sangat berharap generasi muda Indonesia dapat terus menyerap nilai-nilai luhur yang terkandung dalam filosofi wayang.
Nilai-nilai filosofi wayang masih bisa diterapkan pada kehidupan masa kini dan masa datang. Terlebih lagi, wayang tidak hanya berkembang di dalam budaya masyarakat Jawa, namun juga pada masyarakat Sunda, Bali, hingga Melayu.
Sejumlah tokoh nasional juga menyukai wayang. Beberapa menteri di lingkungan kabinet pemerintahan Presiden Soeharto memiliki kegairahan yang sama dengan Pak Harto. Mereka para menteri, juga antusias memikirkan pengembangan dan pelestarian wayang.
Para menteri itu adalah Soepardjo Roestam (Menteri Dalam Negeri), Surono (Menteri Koordinator Politik dan Keamanan), Boediardjo (Menteri Penerangan) dan Soedjarwo (Menteri kehutanan).
Pada 1985, mereka sepakat, bahwa bangsa Indonesia perlu memiliki gedung pelestarian dan pengembangan seni pertunjukkan wayang. Gagasan tersebut kemudian dipercayakan realisasinya kepada Yayasan Pembinaan Pewayangan Indonesia (Wangi), yang dipimpin oleh Soedjarwo.
Gagasan untuk membangun Gedung Pewayangan mendapat sambutan positif Ketua YHK, Siti Hartinah Soeharto. Saat itu, Yayasan Wangi mengajukan kepada Siti Hartinah Soeharto selaku ketua YHK, permohonan lahan untuk dijadikan lokasi pembangunan gedung tersebut. Lahan yang dimaksud terletak di Jalan TMII Pintu I, Pinang Ranti, Kampung Makasar, Jakarta Timur.
Sayangnya, Siti Hartinah Soeharto terlebih dahulu dipanggil ke hadirat illahi robbi pada 28 April 1996, sehingga Beliau belum sempat mengeluarkan surat persetujuannya.

Namun, Pak Harto yang melanjutkan kepemimpinan YHK, dengan cepat menanggapi permohonan tersebut. Sikap tegas Pak Harto ini adalah langkah untuk mewujudkan ide-ide cemerlang Ibu Tien melalui Yayasan yang bertujuan melestarikan budaya bangsa Indonesia, sebagai warisan tak ternilai bagi generasi muda.
Pada 1998, Pak Harto selaku Ketua YHK memberikan persetujuannya, dengan menyediakan lahan seluas dua hektare. Pada tahun itu pula, dimulai pembangunan gedung pewayangan. Dana yang digunakan berasal dari hasil penjualan tanah seluas 6.000 meter yang dihibahkan oleh Soepardjo Roestam.
Gedung Pewayangan segera diwujudkan dalam satu tahun. Tepat pada 19 April 1999, Pak Harto selaku Ketua YHK menandatangani prasasti, menandai diresmikannya penggunaan gedung yang diberi nama Gedung Pewayangan Kautaman.
Secara teknis, pemanfaatan gedung ini dipercayakan kepada Yayasan Senawangi (Sekretariat Nasional Wayang Indonesia) untuk mengembangkan berbagai kegiatan, dalam rangka melestarikan seni budaya pewayangan, melestarikan ilmu kautaman, dan tidak untuk menyembah dewa.
“Jadi, Gedung Pewayangan ini dibangun dan milik YHK, konsepnya untuk pembinaan, pengembangan dan pelestarian wayang yang dilaksanakan oleh Senawangi. Jadi, gedung ini kita fasilitasi untuk kegiatan Senawangi,” tandasnya.
Istilah Kautaman yang dipoleskan pada nama gedung, tujuan sesungguhnya merupakan salah satu hikmah yang dipetik dari pertunjukkan wayang. Dalam penggalan kisah Mahabarata, dikisahkan pengembaraan Bisma Dewabrata untuk mendapatkan ilmu Kautaman.
“Hikmah inilah yang hendaknya diraih oleh siapa pun yang menyaksikan atau mempelajari pertunjukkan wayang”, kata Maliki.
Bicara tentang ilmu kautaman, maka dapat dimulai dengan falsafah hidup suku Jawa yang memiliki tiga sentuhan moral dasar utama. Yakni, kesadaran ber-Tuhan, kesadaran akan keseimbangan dengan alam semesta, dan kesadaran untuk menjadi manusia beradab.
