Tari Sakral ‘Rejang Renteng’ Tampilkan Olah Rasa

Rejang renteng ini diawali dari rejang yang ada di Desa Saren, Nusa Penida berkembang menjadi sebuah tarian, yaitu rejang renteng, rejang yang ditampilkan pada salah satu festival di Tabanan merupakan pengembangan Renteng yang ada di Desa Saren.

Dari tarian ini bukan rejang renteng nusa penida yang diadopsi, melainkan rejang renteng dari Dinas Kebudayaan Provinsi Bali merupakan hasil pengembangan yang ada di Desa Saren tersebut.

Tarian ini berhasil dikembangkan pada tahun 1999 oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Bali dalam upaya menerapkan tujuan dari pemerintah untuk melestarikan seni budaya berupa tarian sakral Bali.

Untuk koreografi dari tari rejang renteng ini merupakan pengembangan dari pola gerakan dari tari renteng yang secara lembut, sederhana, dan kental dengan unsur niskala.

Menurut Ida Ayu Made, tari rejang renteng dapat ditarikan sebagai tari wali saat pelaksanaan upacara Bali atau Piodalan.

Ditampilkannya pun dalam piodalan alit, madya, dan ageng di Pura. Namun, dapat ditampilkan dalam ajang perlombaan dengan ketentuan wajib perlombaan tersebut memiliki kaitan dengan pelaksanaan piodalan di Pura setempat.

Bagi para penari rejang renteng olah ibu-ibu ini wajib mengenakan kebaya berwarna putih tanpa motif atau polos dan lengan panjang. Tidak disarankan untuk menggunakan kebaya dengan lengan pendek saat persembahyangan. Ditambah dengan selendang berwarna kuning sebagai simbol dari kebaikan dan kejahatan serta emosi yang perlu diikat dalam simpulan selendang tersebut, dan kain cepuk tenunan atau kamen berwarna kuning.

Dengan diwajibkan menggunakan kebaya berwarna putih, memiliki makna bahwa badan dari manusia sendiri merupakan sesuatu yang sakral dan sangat perlu untuk dijaga agar terhindar dari hal-hal yang tidak baik (penolak bala).

Lihat juga...