SAYA bosan di sini. Hanya desis ombak, kepak burung, aroma cengkeh, pala, kayu manis. Saya ingin masuk diskotik, menari dalam siraman warna warni lampu disko.
Saya cuma tahu Jakarta dari televisi. Semarak dan indah sekali. Segalanya ada. Malnya besar-besar. Bioskop, hotel, tempat hiburan tersebar di setiap pojok gang.
Menyenangkan sekali hidup di sana, apa saja yang kita ingin tersedia asal kita punya duit banyak. Tidak seperti di sini, cuma teluk, gugusan bukit dan pegunungan hijau yang sebagian puncaknya diselubungi kabut.
Selebihnya hamparan pantai melulu, tebing-tebing curam yang dikepung perairan biru jernih. Tak ada butik, distro, dan gedung pertunjukan, apalagi perpustakaan. Mau jadi apa saya terus di sini? Pengkhayal seumur hidup?
Saya ingin pergi dari tempat ini sesekali. Melupakannya beberapa waktu. Kamu mau kan mengantar saya? Apa yang bisa saya kerjakan di sini selain menghitung butiran pasir di pantai sembari memandang terumbu dan tebing-tebing karang yang menjulang?
Jajaran pohon kelapa dan enau yang berbaris di lereng bukit, kenapa sih membuat kamu terlihat takjub sekali memandangnya. Berdiri di lereng perbukitan Jailolo, melihat matahari perlahan-lahan tenggelam di laut Halmahera saja kamu kegirangan dengan cara begitu naif lagi kampungan.
Baiklah saya akan mengantarmu ke mana pun kamu mau di pulau ini. Kita menyewa speedboat untuk menyeberang ke Pulau Gorngofa. Apa jangan speedboat? Kamu mau kita naik perahu dayung ke pulau karang itu?
Kamu tak takut wajahmu belang? Tapi berjanjilah kamu nanti mengantarku saat saya datang ke Jakarta. Saya tahu kamu mau mengantar saya melihat keajaiban-keajaiban yang ada di Jakarta.