Milk Al-Yamin, Otomatis Dilindungi Negara?

OLEH ABDUL ROHMAN

Abdul Rohman, Penulis Buku Presiden Soeharto dan Visi Kenusantaraan, -Dok. CDN

HARI-hari ini, diskursus publik kita disesaki oleh tafsir kontroversi Milk Al-Yamin. Diskursus ini menutupi isu konflik Papua yang sebenarnya masih membara dan itu berlangsung sudah lebih dua minggu.

Milk Al-Yamin adalah konsep hubungan seksual tanpa nikah (asalkan: 1. tanpa paksaan, 2. bukan transaksional seperti prostitusi, 3. bukan dengan istri orang lain, 4. bukan dipertontonkan di muka publik karena jika disaksikan minimal 4 orang termasuk kategori zina, 5. bukan sesama jenis, 6. bukan dalam ikatan sedarah yang tidak boleh di nikah).

Konsepsi Milk Al Yamin merupakan reintepretasi terhadap ayat Al-Qur’an yang membolehkan hubungan seksual dengan budak.

Penulis disertasi yang heboh itu, Sjahrur, mendasarkan pada teks surat Al Mukminin ayat 5-6. Ayat itu menyatakan: “Perbuatan zina itu dilarang. Kecuali jika itu dilakukan dengan istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki.”

Pada era sekarang, perbudakan sudah tidak ada. Maka bisa ditafsirkan “hukum boleh melakukan hubungan seksual tanpa nikah terhadap budak”, dalam konteks sekarang adalah hubungan seksual atas dasar saling suka dengan batasan-batasan seperti di atas. Kemudian dikenal dengan konsep Milk Al-Yamin itu.

Sekarang banyak beragam responsi masyarakat atas kemunculan konsep Milk Al-Yamin. Ada yang berpendapat bahwa itu hanya disertasi, lingkup akademik. Toh pemerintah kita memiliki UU Perkawinan yang mengatur di Indonesia.

Orang yang berpandangan seperti ini, lupa bahwa pemberlakuan ketentuan dalam Al-Qur’an berlangsung secara otomatis, sebagai bagian perintah agama. Mana yang diperintahkan, mana yang diperbolehkan, mana yang dilarang, itulah yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh masyarakat Muslim.

Lihat juga...