BATAN Kembangkan Teknologi Pemisahan Teknesium dari Molibdenum
Editor: Makmun Hidayat
SERPONG — Penggunaan Teknesium-99m (Tc-99m) pada diagnosa kedokteran nuklir sejauh ini merupakan pilihan terbaik dan dipergunakan hingga 80 persen. Tapi selama ini Tc-99m ini didapatkan dari hasil fisi Uranium. Artinya menyisakan banyak limbah radioaktif, yang membutuhkan pengamanan, pengelola dan biaya yang lebih tinggi. Sehingga diperlukan alternatif pengayaan.
Kepala Pusat Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka (PTRR) Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Rohadi Awaludin menyebutkan kerja sama yang ditandatangani dengan pihak Jepang, Kaken dan NAIS merupakan upaya untuk melakukan alternatif pengayaan.
“Latar belakang terjalinnya kerja sama tersebut adalah kesamaan pandangan bahwa teknologi radioisotop dan radiofarmaka terus berkembang dan pemanfaatannya terus mengalami peningkatan, termasuk di Jepang dan di Indonesia,” kata Rohadi saat ditemui di Batan Serpong, Rabu (11/12/2019).
Kaken dan BATAN sama-sama memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang radioisotop dan radiofarmaka. Jika pengetahuan dan pengalaman tersebut disinergikan, lanjut Rohadi, maka akan diperoleh hasil yang sangat menguntungkan kedua belah pihak, bahkan bukan hanya kedua institusi namun bisa lebih luas lagi yaitu bagi Indonesia dan Jepang.
Ia memaparkan dalam kerja sama yang berdurasi lima tahun ini, pihak BATAN dan Kaken akan melakukan pengembangan teknologi produksi radioisotop Tc-99m.
“Saat ini Teknesium-99m diproduksi menggunakan Molibdenum-99 (Mo-99) hasil fisi dari Uranium. Teknologi ini masih menyisakan beberapa tantangan, diantaranya besarnya limbah radioaktif hasil fisi (radioactive fission waste) yang dihasilkan. Teknologi baru yang dikembangkan ini menggunakan molibdenum alam untuk memproduksi Mo-99, jadi tidak menggunakan uranium lagi. Limbah radioaktif yg dihasilkan pun sangat kecil dan bukan radioactive fission waste (RFW),” urainya.