Defisit BPJS Berujung Kenaikan Iuran JKN

JAKARTA – Sepanjang 2019, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mengalami perubahan besar, menyusul adanya kebijakan-kebijakan baru dan hasil evaluasi yang berdampak pada perubahan sistem asuransi kesehatan sosial itu.

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan selaku pengelola program JKN menghadapi defisit selama 2019.

Menurut proyeksi, BPJS Kesehatan pada akhir 2019 bisa menghadapi defisit hingga Rp32 triliun, jika pemerintah tidak melakukan intervensi apa pun.

Defisit dalam pembiayaan JKN membuat BPJS Kesehatan menunggak klaim pembayaran pelayanan kesehatan peserta JKN ke rumah sakit. Kondisi itu juga mengganggu arus kas rumah sakit yang bermitra dengan BPJS Kesehatan.

Akibatnya, pengelola rumah sakit mitra menunggak bayaran pada petugas medis dan stok obat rumah sakit terganggu, karena rumah sakit menunggak pembayaran ke penyedia farmasi. Pelayanan kesehatan bagi peserta program jaminan pun menjadi terganggu.

Dalam kondisi yang demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani menolak memberikan suntikan dana pemerintah untuk menutup defisit dalam pengelolaan JKN.

Menteri Keuangan meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengaudit laporan keuangan BPJS Kesehatan 2018.

Dalam proses audit tersebut, BPKP menemukan sejumlah persoalan, termasuk di antaranya ketidaksesuaian antara penerimaan BPJS Kesehatan dari iuran peserta dengan pengeluaran untuk membiayai penyelenggaraan program JKN.

Selain itu, BPKP mendapati banyak rumah sakit dengan kelas yang tidak sesuai, yang membuat BPJS Kesehatan harus membayar klaim berlebih kepada rumah sakit dan penetapan Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang tidak sesuai sasaran.

Lihat juga...