Prajurit Perang Puputan

CERPEN A. WARITS ROVI

ANGIN gegas tingkahi ilalang. Ilalang hijau yang bunga-bunganya menggesek betis Nur, yang tengah menjemur pakaian prajurit kami di sebujur ranting kering.

Aku berusaha tak melihat tubuh Nur, selain hanya mengetahui semua yang ia lakukan dari bayangannya di datar rumput. Mondar-mandir ke sana kemari, membawa tumpukan pakaian tebal dan basah, sesekali ia peras dan ia kibas-kibaskan.

Ya, aku tahu semua itu karena melihat bayangan Nur di rumputan. Berkali-kali Nur lewat di depanku, sambil menyapa dan bertanya berbagai hal.

Berkali-kali pula aku menjawab sambil memalingkan wajah ke arah tumpukan bekal kami yang memadati pojok tenda yang terbuat dari rajutan janur. Atau lempar mata ke sejumlah prajurit yang masih tidur lelap bagai banjar ikan di atas tampah.

Suara Nur semakin membuatku rindu untuk melihat wajahya yang putih, berpipi kenyal, sepasang mata sebundar ratna, kebiruan dengan paduan bibir sesisir jeruk yang hanya bisa dipadan dengan kecantikan bidadari.

Tapi kali ini adalah pantangan bagiku untuk melihat perempuan. Aku dan semua prajurit dilarang keras melihat perempuan. Sudah jadi aturan sejak dari nenek moyang, bahwa apabila prajurit mau berperang, hendaknya tidak melihat perempuan, setidaknya selama seminggu sejak sebelum peperangan.

Langit Bangkalan berparas bersih, awan bagai gumpalan kapas tipis, berarak, menyebar ke ufuk barat, seperti mengajari kami menguasai medan pertempuran. Asap yang mengepul dari dapur, mengirim wangi tumis terung campur bawang, ada juga aroma ikan panggang dan rebusan brokoli.

Sejenak kuhirup dengan wajah berbinar, tapi seketika binar itu pudar, saat kulihat sejumlah prajurit tengah membuat benteng di depanku, karung berisi tanah disusun setinggi dada.

Lihat juga...