DI sebuah rumah sederhana beratap nipah. Berdinding nipah. Berlantai papan meranti. Menjelang petang. Duduk santai empat orang.
Di pojok rumah menjurus ke dapur. Duduk santai seorang perempuan tua. Asyik menganyam tikar dari daun pandan. Tangan perempuan tua itu telaten menjalin helai demi helai daun pandan. Jadi tikar. Tidak terpengaruh dengan tiga orang di ruang depan. Asyik bercengkerama.
Suaminya duduk bersila dengan santai. Berpakaian baju polos. Kenakan sarung. Menyeruput kopi dalam cawan. Sesekali mengunyah ubi jalar rebus. Diambil dari ladang di belakang rumah. Di samping suaminya, duduk Ghafur. Bersandar ke tiang dan dinding rumah. Di depan lelaki tua itu, Samin teman Ghafur.
Suami-istri ini hanya memiliki seorang anak. Saat ini tidak berada di rumah. Pergi merantau ke kota. Bertugas sebagai Akuntan. Pada waktu liburan saja anaknya pulang menjenguk mereka.
Kedatangan kami membuat mereka senang dan gembira. Apalagi Ghafur masih ada kaitan keluarga dengan orang tua itu. Mereka semakin tambah senang. Ghafur memanggil suami perempuan itu dengan sebutan Wak.
Karena, lelaki berumur lima puluh delapan tahun itu adalah abang tertua dari bapaknya. Kedatangan ke rumah Wak bertujuan untuk menginap. Selama bertugas sebagai penyuluh masyarakat.
***
“INI kampung orang, teman. Kita tidak boleh macam-macam. Jangan kau dekati dia! Bisa jadi dia adalah istri orang lain,” Ghafur mengingatkan Samin.
Samin membantah. “Tidak mungkin dia istri orang. Orang masih muda begitu. Jika dia istri orang, pasti sudah setengah umur. Ini masih kelihatan gadis remaja. Badannya masih segar.”
“Kau tidak tahu, teman. Di kampung, wanita muda banyak sudah menikah. Teman, jangan membuat suaminya marah!”