Kemenkes: Obat Tradisional Hanya Ringankan Gejala Penyerta Covid-19
Editor: Makmun Hidayat
JAKARTA — Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional, Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Akhmad Saikhu mengatakan obat satu-satunya adalah anti-virus berupa vaksin, yang sampai saat ini masih dalam proses penelitian. Oleh karena itu, penggunaan obat tradisional tidak dapat menyembuhkan Covid-19, tapi meringankan gejala penyerta.
“Jamu (obat tradisional) ini adalah untuk komorbit dari Covid-19. Artinya bisa dipergunakan untuk meringankan gejala-gejala penyerta tapi bukan menyembuhkan Covid-19,” kata Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional, Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Akhmad Seikhu saat dialog di Gedung BNPB, Jakarta, Rabu (5/8/2020).
Akhmad Seikhu menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan obat tradisional terdiri dari tiga kategori yaitu jamu, obat herbal terstandarisasi dan fitofarmaka. Dan obat-obat tersebut katanya, juga harus memenuhi syarat. Seperti tidak menimbulkan efek samping dan tidak mengganggu fungsi hati atau pun ginjal.
“Mengenai kegiatan mencampur ramuan-ramuan jamu atau oplosan, kita sudah mengeluarkan daftar ramuan jamu yang dapat dikonsumsi secara langsung. Sehingga tidak berbahaya bagi kesehatan siapapun yang menggunakan,” ujarnya.
Akhmad Saikhu juga mengimbau kepala masyarakat yang memang biasa mengonsumsi jamu. Supaya tetap meneruskan selama jamu tersebut dapat meningkatkan daya tahan tubuh atau meringankan gejala penyakit yang diderita.
“Tentu kita menyarankan kepada masyarakat yang biasa mengkonsumsi jamu, terus dilanjutkan untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Terutama di masa-masa Covid-19 ini, justru ditingkatkan saja takarannya,” sebutnya.
Pada kesempatan yang sama, Togi Junuce Hutadjulu, Direktur Standarisasi Obat Narkotika, Psikotropika, Prekusor dan Zat Adiktif menegaskan bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang bertugas untuk memastikan kelayakan obat tradisional. Dalam arti bahwa obat tradisional harus memenuhi persyaratan aspek khasiat, keamanan dan kualitas.
“Pengembangan vaksin sekarang sedang berjalan, dan BPOM mengawal untuk memastikan bahwa obat ini nantinya akan aman digunakan dalam rangka pencegahan ataupun treatment dalam Covid-19,” kata Togi.
Togi juga memaparkan prosedur pembuatan obat yang juga dilakukan pada situasi pandemi Covid-19. Pertama adalah proses penelitian guna mencari molekul yang potensial untuk digunakan. Setelah mendapatkan molekul, dilakukanlah uji laboratorium untuk menetapkan karakterisasi serta spesifikasinya.
“Kemudian kalau sudah kelihatan ada potensi untuk manfaat dan keamanannya, itu akan pindah ke uji praklinis. Uji praklinis ini dilakukan pada hewan untuk membuktikan keamanan obat tersebut, sehingga dapat dilanjutkan ke uji klinis,” jelasnya.
Togi menambahkan, bahwa terdapat tiga fase dalam uji klinis. Fase satu adalah untuk memastikan keamanan, Fase dua adalah untuk memastikan efektivitas dan Fase tiga adalah untuk mengonfirmasi keamanan dan khasiat obat tersebut. Terkait obat tradisional yang tersebar di pasaran, Togi menegaskan bahwa obat tersebut juga harus mendapatkan izin dari BPOM.
“Masyarakat juga diminta melakukan pengecekan pada kemasan, label, nomor izin edar, serta tanggal kedaluwarsa. Apabila masih terdapat keraguan terhadap suatu produk, masyarakat dapat menghubungi contact center BPOM,” tegasnya.
Kemudian mengenai pengembangan vaksin, ia menyampaikan bahwa uji klinis akan dilakukan pada kurang lebih 1.620 subyek di pertengahan bulan Agustus ini. Dimana yang melakukan adalah Universitas Padjadjaran, Fakultas Kedokteran. Ini merupakan kerja sama antara Biofarma.
“Biofarma diperkirakan akan mengajukan izin edar vaksin di bulan Januari 2021, dan diharapkan persetujuan tersebut dapat dikeluarkan pada Februari 2021. Untuk itu kami meminta masyarakat untuk tetap waspada terhadap klaim dalam suatu produk, baik obat modern maupun obat tradisional, khususnya di situasi pandemi Covid-19 ini,” tutupnya.