31,2 Persen Publik Tahu soal ‘Omnibus Law’
Omnibus Law RUU Cipta Kerja dilatarbelakangi situasi perang dagang Amerika dan China, di mana Indonesia dinilai tidak berhasil memetik keuntungan untuk menarik investasi. Ditambah faktor pandemi, dimana banyak terjadi PHK, kebutuhan akan omnibus law jadi semakin besar.
Alasan lainnya adalah memudahkan perizinan (72,1 persen setuju, 15,7 persen tidak setuju dan 12,2 persen tidak tahu/tidak menjawab), memulihkan ekonomi nasional (69,4 persen setuju,19,9 persen tidak setuju dan tidak tahu 10,7 persen), dan menghidupkan UMKM (65,3 persen setuju, 23,1 persen tidak setuju dan 11,6 persen tidak tahu).
Lalu mendorong investasi (60,5 persen setuju, 19,0 persen tidak setuju dan 20,5 persen tidak tahu), menyederhanakan birokrasi (56,1 persen setuju, 15,7 persen tidak setuju dan 28,2 persen tidak tahu), dan menyelesaikan tumpang-tindih perundang-undangan (52,2 persen setuju, 26,4 persen tidak setuju, dan 21,4 persen tidak tahu/tidak menjawab).
“Di antara sebagian kecil yang menyatakan tidak setuju, alasan terbesar adalah bahwa omnibus law merupakan intervensi asing (75,0 persen), sisanya 18,8 persen tidak setuju dan 6,3 persen tidak tahu/tidak jawab,” ujar Leonard.
Alasan lainnya memudahkan tenaga kerja Cina masuk (68,8 persen setuju/21,9 persen tidak setuju/9,4 persen tidak tahu atau tidak jawab), merugikan pekerja (59,4 persen/25,0 persen/15,6 persen), PHK tanpa pesangon (46,9 persen/ 15,6 persen/37,5 persen), dan libur Lebaran ditiadakan (37,5 persen/46,9 persen/15,6 persen).
Naiknya pemberitaan seputar omnibus law selama sepekan belakangan bisa jadi meningkatkan pengetahuan publik.
“Pemerintah harus bisa menjelaskan secara transparan substansi omnibus law dan mengapa RUU itu sangat dibutuhkan Indonesia,” ucap Leonard.