Kedokteran Nuklir di Indonesia Bergerak Lambat
Editor: Koko Triarko
JAKARTA – Walaupun sudah terbentuk sejak 1976, Kedokteran Nuklir Indonesia masih terlihat bergerak lambat. Selain memang karena pembiayaan yang cukup besar dalam hal pengadaan alat dan radiofarmakanya, ternyata regulasi juga tidak mendukung pengembangan kedokteran nuklir ini.
Ketua Perhimpunan Kedokteran Nuklir dan Teranostik Molekuler Indonesia (PKNTMI), dr. Eko Purnomo, SpKN., TM(K)., menjelaskan keterlambatan pada pengembangan kedokteran nuklir adalah akibat pembiayaan tinggi dan regulasi.

“Dana pengadaan alkes dan regulasi menjadi masalah bagi instansi pelayanan kesehatan. Jadi, dibutuhkan kebijakan yang mendukung penuh pengembangan kedokteran nuklir di Indonesia. Misalnya, peralatannya jangan dibebani pajak barang mewah alat medis. Seperti di Malaysia, di sana itu tidak terkena pajak barang mewah, sehingga harganya bisa murah,” kata Eko, saat acara online, Jumat (20/11/2020).
Hal lainnya yang disebutkan sebagai kendala adalah kestabilan bahan pengobatan dari produk lokal yang bisa memenuhi kebutuhan bahan pengobatan pasien.
“Waktu awal sekitar 1990an, kami mengambil hampir semua bahan pengobatan dari BATAN. Bisa dikatakan 90 persenlah. Tapi makin lama mungkin karena peralatan BATAN yang sudah memasuki usia tua, sehingga tidak mampu memenuhi permintaan yang ada, akhirnya sekarang kami mulai impor. Saat ini rasionya sekitar 60-40lah,” urainya.