Beras Impor Bisa Mengganggu Stabilitas di Sektor Pangan
Editor: Koko Triarko
Lebih lanjut dia menjelaskan, sagu merupakan komoditas pertanian asli Indonesia yang berpotensi sebagai bahan pangan alternatif dan agroindustri.
Sebaran tanaman sagu di Indonesia berada di Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Riau, Maluku dan Papua. Namun dari semua daerah tersebut, produksi terbesar terdapat di Papua.
Menurutnya, pengembangan sagu harus dilakukan secara optimal dan terpadu. Karena budi daya dan pemanfaatan sagu secara terpadu dapat memberikan korelasi positif dengan bertambahnya pendapatan bagi petani sagu.
Dia juga menyebut, pemanfaatan sagu skala besar terkendala karena letak tanaman ini berada di hutan. Sehingga, para petani hanya bisa memanen sagu yang dapat dijangkaunya saja.
Karena itu, menurutnya, sangat diperlukan pengembangan infrastruktur agar panen sagu berskala besar. Karena jika pemanfaatan sagu hanya satu sampai dua hektare saja, tentu panen sagu tidak akan dapat menutupi cost produksinya.
“Jadi, idealnya produksi sagu skala besar adalah 30-40 ribu hektare. Skala ini agar dapat sesuai dengan biaya infrastrukturnya,” urainya.
Dia menegaskan, bahwa membangun kawasan sagu bukan hanya menanam sagu saja, tetapi pabrik pengolahannya juga harus tersedia.
Sehingga, tidak dijual dalam bentuk pati sagunya saja, melainkan produk turunan. Dengan begitu, nilai jual sagu akan lebih tinggi, dan berdampak kepada kehidupan masyarakat sekitarnya lebih sejahtera.
Komoditas sagu dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan, seperti beras analog, industri makanan dan bahan baku industri. Diantaranya industri kertas, bahan bakar, kosmetik, farmasi dan pestisida.
Bagi masyarakat Indonesia timur, khususnya Papua, tamanan sagu ini merupakan salah satu komoditas pangan yang utama bagi kehidupannya.