KPK: Toleransi Perilaku Korupsi di Masyarakat Masih Tinggi
Redaktur: Muhsin Efri Yanto
SEMARANG — Data Global Corruption Barometer (GCB) 2020, menunjukkan 25 persen pemberian uang atau barang lain ke pejabat negara sebagai suap, karena diminta. Selebihnya, diberi tanpa meminta.
“Hasil survei yang dilakukan GCB, setiap 4 tahun sekali tersebut menunjukkan, hanya 25 persen suap diberikan karena diminta, 21 persen ditawari agar pelayanan lebih cepat atau baik, 17 persen tidak diminta tapi biasanya diharapkan memberi, dan tidak diminta hanya sebagai terimakasih 33 persen,” papar Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi KPK) RI, Wawan Wardiana, dalam kuliah umum pendidikan anti korupsi, yang digelar Universitas Negeri Semarang (Unnes) secara daring, di kampus tersebut, Semarang, Kamis (4/3/2021).
Dari hasil survei tersebut, bisa disimpulkan bahwa korupsi atau suap, sudah menjadi hal yang biasa di masyarakat.
“Tanpa diminta, masyarakat yang berkepentingan ini sudah mau memberikan. Bisa dibayangkan, tugas KPK untuk meningkatkan pendidikan anti korupsi ini. Untuk menyadarkan masyarakat, jangan memberikan uang, tips atau suap,” tandasnya.
Wawan juga menandaskan, aspek perilaku menjadi penting untuk diintervensi karena semakin tinggi toleransi publik terhadap korupsi, semakin besar kecenderungan publik untuk memberikan uang atau fasilitas, melebihi ketentuan.
“Hal tersebut dilakukan, ketika mereka berhubungan dengan layanan publik. Data Survei Perilaku Anti Korupsi (SPAK), yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), menunjukkan hampir 73 persen pemberi tidak keberatan,” tambahnya.
Akibatnya, dengan angka SPAK yang tinggi, berbanding lurus dengan toleransi akan korupsi, menyebabkan publik enggan untuk menolak atau melaporkan.