Pedagang Sate Padang Pariaman, Syahrul sedang mempersiapkan sate pesanan di kawasan Gandoang, Cileungsi, Bogor Timur, Sabtu (31/7/2021) - Foto Ranny Supusepa
JAKARTA – Indonesia kaya dengan variasi menu sate. Semuanya memiliki penggemar yang berbeda, karena setiap sate memiliki cita rasa berbeda. Salah satu yang memiliki banyak penggemar adalah sate Padang Pariaman.
Syahrul, pedagang sate padang di Gandoang Cileungsi menyebut, sebenarnya sate Padang juga memiliki variasi. Hanya, kalau bukan orang asli Padang jarang, yang mengetahui. “Tahunya, ya sate Padang saja. Padahal sate Padang itu ada yang dari Pariaman, yang biasanya ditandai dengan kuahnya yang agak kemerahan karena banyaknya cabe yang digunakan saat membuat bumbunya. Seperti saya, ini masuknya Pariaman. Ada yang dari Padang Panjang, yang biasanya warna kuahnya lebih kuning. Karena banyak menggunakan kunyit,” kata Syahrul, saat membuka lapak satenya, di Gandoang, Cileungsi, Bogor Timur, Sabtu (31/7/2021).
Untuk membuat bumbu sate Padang Pariaman, ada 15 bumbu rempah yang harus dihaluskan dan dimasak bersama. “Mulai dari bawang merah dan bawang putih, jahe, kunyit, kapulaga, jintan, ketumbar, lada hitam, asam Jawa dan cabai untuk dihaluskan. Dan lengkuas dan serai dipeprek. Nanti sambil dimasak, dimasukkan juga daun kunyit dan daun jeruk,” tuturnya.
Sate Padang Pariaman Syahrul yang memiliki rasa pedas, di kawasan Gandoang, Cileungsi, Bogor Timur, Sabtu (31/7/2021) – Foto Ranny Supusepa
Bumbu yang sudah jadi, setelah diberi gula dan garam, dibagi menjadi tiga bagian. Satu bagian untuk membumbui daging dan dua bagian menjadi kuah siram, yang dicampur dengan kacang tanah yang sudah dihaluskan dan kuah rendaman daging, “Bumbu kuah siram itu, diaduk hingga rata, lalu disaring. Setelah itu, dimasak lagi hingga meletup dan mengental. Kalau sudah biasa masak, tanpa dicoba, hanya dibaui saja, kita sudah tahu kalau sudah pas atau belum rasanya. Tapi kalau belum biasa, bisa dicoba, kalau kurang gula atau garamnya, bisa ditambahkan,” tuturnya.
Syahrul menyebut, daging yang sudah dipotong, dibumbui dengan satu bagian bumbu dan ditambah dengan kelapa sangrai. “Baru setelahnya ditusuk dan disusun untuk dibawa ke tempat dagang,” kata Syahrul, yang tinggal di rumah berjarak satu kilometer dari tempatnya berdagang.
Untuk ketupat, ia memasak sendiri dengan menggunakan kayu bakar, yang didapatkannya dari membeli pada beberapa tukang kayu. “Memang lebih lama kalau menggunakan kayu, tapi lebih enak rasanya. Jadi kalau mulai masak pagi, jam empat sore itu sudah siap semua. Ketupat langsung digantung di gerobak, kuahnya juga dimasukkan ke panci dan sate disusun. Baru berangkat ke tempat dagang,” ucapnya.
Biasanya, Syahrul berdagang hingga jam 10 malam, dan menghabiskan sekira 150 hingga 200 tusuk per malam. “Tapi semenjak PPKM darurat ini, agak berkurang. Karena banyak juga yang tidak mau keluar sampai malam. Padahal di daerah sini tak begitu ketat juga pengawasannya,” pungkasnya.