Sore mendadak panas dan dilingkupi hawa kematian. Burung-burung gereja yang sedang bertengger di dahan cemara seberang rumah Pak Darman beterbangan menjauh.
Seekor anak kucing mundur dan bersembunyi di sudut tiang listrik. Dari balik gang tak jauh dari rumah Pak Darman, gegas langkah terdengar berderap.
Beberapa detik setelah keheningan yang mencekam, suara letusan memecahkan kesunyian sore di Gang Bahagia. Pak Darman melepas napas panjang. Sementara di hadapannya, sesosok tubuh terluka di bagian punggung dengan darah bercucuran.
Namun, sosok yang tertembak senapan Pak Darman itu bukanlah si anak anjing. Ia adalah jasad Santo Aji, seorang pemuda kurang waras yang biasa hilir-mudik di Gang Bahagia. Sedangkan anjing itu berada di dekapan Santo Aji.
Dan memanglah Santo Aji dan anjing itu adalah sepasang kawan akrab. Sepasang makhluk yang dibenci dan dijauhi sesisi penduduk Gang Bahagia.
Tubuh Santo Aji lunglai. Ia sudah mati. Si anjing menggonggong-gonggong lemah, lemah sekali, seperti sebuah ratapan tak tertahankan.
Sementara dari rumah-rumah, orang-orang bermunculan. Pak Toto, Ustaz Gustam, dan para penghuni Gang Bahagia lainnya.
“Apa anak anjing ini perlu saya tembak juga?” kata Pak Darman kepada orang-orang yang berkerumun.
Mereka hanya menggidikkan bahu. Si anjing masih menggonggong lemah sambil menggoyang-goyang jasad Santo Aji.
Pak Darman bersiap menarik pelatuk senapannya sekali lagi. Sore itu udara kian panas, sangat panas, udara terpanas yang barangkali pernah ada di Gang Bahagia. ***
Erwin Setia lahir tahun 1998. Menulis cerpen dan esai. Ia menempuh pendidikan di Prodi Sejarah dan Peradaban Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung, Jawa Barat. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media seperti Koran Tempo, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, Solopos, Haluan, Koran Merapi, Padang Ekspres, dan Detik.com.