Tetapi tidak dengan rasaku saat ini yang sama sekali tidak bisa membuat keceriaan seperti biasanya. Begitu pula saat namaku dipanggil ke panggung untuk menerima tropi dan piagam penghargaan sebagai guru inspiratif dengan karya terbaik.
Yusuf, hanya wajah anakku yang selalu di pelupuk mata, ada rasa takut kehilangan dan bersalah yang luar biasa. Rasanya ingin malam ini juga aku pulang ke lereng Gunung Widosari, Samigaluh, namun lumayan jauh dari pusat kota Jogja.
Ya, barisan bukit Menoreh Kulon Progo yang selalu menjadi saksi sejak kukais ilmu di sekolah hingga kini aku menjadi guru. Tantangan geografis atau hambatan sosial sudah kuhadapi sejak awal.
“Perempuan desa buat apa sekolah tinggi-tinggi, paling besok juga mengasuh anak,” ujar Budhe Sastro saat melihat ibuku menjemput kepulanganku di perempatan jalan petang itu, dan diguyur hujan lagi. Tahun delapan puluhan akses jalan belum sebagus sekarang.
“Kuliah kok ambil bahasa Jawa, memangnya mau jadi dalang perempuan?” dan masih banyak lagi celoteh warga yang mengomentari privasiku, apalagi banyak teman sebayaku yang sudah menggendong anak sedangkan aku masih menenteng buku.
Ah, itu cerita masa lalu! Alhamdulilah sekarang tanaman itu satu demi satu telah kupetik. Semua berkat ibuku yang selalu mendorong, memberi semangat sekaligus menghiburku.
Rasanya belum puas menyampaikan keluh kesah dan segala yang kualami kepada ibu, tapi apa daya kepergianmu di luar kuasaku.
Aku tak sanggup berbuat apa pun untuk menghalangi kepergianmu, ada yang lebih berhak mengambilmu dari sisiku. Dan seratus hari sudah Ibu tertidur dalam alam baka, meski saat-saat seperti ini masih saja kurasakan kehadiranmu, malam ini pun ada rasa takut kehilangan anakku yang tengah sakit.