DFW Nilai KKP Perlu Perhitungkan Kesiapan dan Risiko Penangkapan Terukur
JAKARTA — Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dinilai perlu memperhitungkan tingkat kesiapan dan risiko kebijakan penangkapan terukur dalam rangka meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor kelautan dan perikanan nasional.
“Implementasi penangkapan ikan terukur oleh KKP mestinya sudah menghitung tingkat kesiapan, risiko dan manfaatnya secara ekonomi, sosial dan lingkungan,” kata Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan di Jakarta, Rabu.
Abdi mengingatkan pemerintah jangan sampai manfaat ekonomi yang didapat melalui PNBP tidak sebanding dengan tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan masifnya penangkapan ikan dengan segala jenis alat tangkap dan munculnya konflik sosial antara nelayan kecil dengan korporasi yang mendapatkan kuota penangkapan ikan.
Menurut dia, dengan sistem kuota kontrak, perusahaan penangkapan ikan akan mendapat keistimewaan luar biasa sebab 66,6 persen kuota sudah dikuasai oleh perusahaan dan bisa tambah sampai 95 persen dari 5,9 juta ton sebab kondisi koperasi perikanan dinilai tidak kuat bersaing dengan syarat kontrak yang ditetapkan KKP.
DFW tergabung dalam Koalisi Untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (Koral) yang terdiri dari sembilan organisasi masyarakat sipil.
Koral menyatakan bahwa alih-alih menerapkan sistem kuota kontrak, mereka mengajukan rekomendasi sekaligus solusi agar KKP menerapkan perizinan berbasis tingkat kepatuhan kapal penangkap ikan, memperkuat kapasitas dalam pengkajian stok ikan dan pengawasan serta menutup kegiatan penangkapan ikan dari invasi kapal ikan asing.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), yang juga tergabung dalam Koral, Parid Ridwanuddin menyatakan bahwa kebijakan penangkapan ikan terukur memberikan karpet merah bagi korporasi dengan metode lelang terbuka kepada 4-5 investor per WPP (wilayah pengelolaan perikanan).