31 Oktober 1992, Presiden Soeharto membawa “Blue Print” untuk tatanan Dunia Baru
“Indonesia merasa yakin Trilogi Pembangunan bisa dilaksanakan demi untuk kebaikan umat manusia,” kata Kepala Negara.
Blue print tanpa dana bisa tinggal retorik belaka. Tetapi Soeharto berkata:
“Gerakan kami senantiasa berpendapat bahwa sumber daya yang disisihkan, dari proses perlucutan dan pengurangan persenjataan hendaknya dialihkan kepada upaya pembangunan sosial ekonomi semua negara. Dalam perjalanan kembali ke tanah air dari New York dan Jepang, Presiden masih menunjuk pada putusan KTT Rio mengenai komitmen negara-negara maju untuk menyisihkan 07 dari GNP mereka untuk pembangunan berkelanjutan di negara-negara berkembang.
Imbauan
Cooperation and confrontation sudah merupakan slogan di dunia yang saling tergantung. Seperti dikatakan Soeharto, disadari GNB bahwa masalah-masalah global kini saling berkait, terutama di bidang ekonomi. Hampir seluruh permasalahan dewasa ini bersifat global. Penyelesaiannya tidak bisa hanya yang bersifat sementara atau bersifat tambal sulam. Oleh karena itu Soeharto mengusulkan sudah waktunya bagi Utara dan Selatan untuk menumbuhkan kesepakatan baru mengenai pembangunan dan menggalang kemitraan demokratis dalam merumuskan penyelesaian global terhadap masalah-masalah global. Dalam kata lain menghidupkan kembali dialog Utara Selatan.
“Karena jelas kiranya berhasilnya peningkatan kerja sama ekonomi diantara negara-negara berkembang pada gilirannya akan lebih menggairahkan pertumbuhan dan perluasan ekonomi dunia secara keseluruhan.” Ini imbauan Soeharto di depan Persidangan Majelis PBB.
Beberapa wakil anggota PBB yang dihubungi penulis di Markas Besar PBB setelah mereka mendengar pidato Presiden Soeharto mengemukakan berbagai forum yang bisa dimanfaatkan untuk memulai dialog Utara-Selatan. Tetapi setelah kembali dari KTT Rio tampaknya Presiden Soeharto semakin bertekad bahwa dialog tersebut harus dilaksanakan di bawah naungan PBB. Dengar saja apa yang ia katakan di depan Majelis PBB: