Aku tidak setuju Sumur Tua ini digusur! Dan tidak mau warisan peradaban ini dihancurkan! Dan jika kalian, pamong-pamong yang bangga dengan pembangunan, yang kalian bangun dari hutang itu, aku keturunan prajurit Ronggolawe yang tersisa yang akan meneruskan perlawanan!!” seru Mbah Man.
Celurit digenggam erat. Sementara istrinya memegang tombak. Mata tombaknya sudah berkarat. Dan bengkok!
Aura anyir darah segera memancar. Pertarungan tampaknya segera dimulai. Kaki rombongan pamong surut dua langkah ke belakang. Hanya Urip yang masih tegak berdiri di tempatnya semula.
Biar bagaimana dia tetaplah keponakan Mbah Man. Paman dan bibi akan tetap sayang. Setidaknya tidak bakal menyakiti. Atau malah tidak membiarkan dirinya tewas sia-sia. Tega larane ora tega patine.
Urip coba bertahan. Dia menunggu dengan wajah tenang. Meski dadanya berdebar kencang. Musim carok telah tiba. Di mana-mana orang merasa wajib berjuang. Merebut haknya. Atau mempertahankan harga diri. Luka dibayar luka. Nyawa dibayar nyawa.
Akankah dia bakal jadi korban berikutnya?
Sepasang Mbah Man memang sudah lansia. Sangat renta. Tapi kesaktiannya sudah menyebar kemana-mana. Bukan hanya senjatanya. Kabarnya dia bisa bergerak secepat angin. Bahkan mabur duwur. Tanpa disebul!!!
Hampir seabad usianya tak pernah orang melihat keduanya belanja beras. Alias tak makan nasi!!
Orang banyak hanya melihat sesekali keduanya minum. Dari gentong raksasa seukuran gajah di samping sumur. Hebat. Gentong berbahan tanah yang kelihatan retak dari luar ternyata masih kokoh.
Garis-garis retakan menyebar. Membentuk semacam jalur pada gambar peta. Mirip gambar sketsa akar pada buku pelajaran. Mungkin sudah bercampur akar betulan.