Selintas lalu rumah itu tampak artistik. Atap joglonya mengesankan klasik. Pintu model kuno berbahan kayu jati tua berlapis pelitur coklat keemasan. Hiasan kaca berwarna hijau lumut pada jendela yang selaras membaur dengan pepohonan rindang yang tumbuh di depan rumah. Lantai keramik coklat lembut juga terkesan kalem nan bersahaja.
Menjelang Magrib, rumah semi permanen itu teramat senyap. Cahaya bohlam sepuluh watt yang dipasang di teras rumah kurang bersinar terang tetapi tidak juga remang. Sinar lampu neon dari dalam rumah yang memantul pada kaca hijau lumut menyumbang terang yang demikian anggun.
Pemilik rumah adalah seorang janda. Suaminya meninggal karena suatu penyakit paru. Sementara dua anaknya yang telah dewasa pergi merantau. Menikah dan menetap di perantauan.
Janda itu tak terlihat kesepian. Meski hidup sendirian di dalam rumah yang bisa dibilang terlampau luas untuk dirinya seorang diri. Baginya, kesendirian bukan berarti hidup kesepian.
Ia tak pernah terlihat murung. Wajahnya selalu berbinar-binar ceria. Ia selalu punya alasan untuk bahagia.
Suatu kali janda itu menemukan seekor kucing hitam. Matanya bening dan terang seperti bola peramal. Janda itu tergoda memeliharanya.
Ia pikir kucing itu bisa menjadi temannya yang setia. Maka kemudian hiduplah janda itu dengan seekor kucing yang ke mana-mana selalu mengikutinya. Kecuali ketika janda itu ke pasar.
Saban wage, ia berangkat ke pasar. Menumpang pikap tetangganya. Ia terkenal sebagai penjual nasi kluban yang enak. Berbagai macam gorengannya pun tidak mengecewakan. Gedang gorengnya manis. Tempe mendoannya renyah. Bakwannya empuk serta gurih.