Hanako dan Kucing-kucing di Kota A

CERPEN SETO PERMADA

Acara jalan-jalan bersama Hanabi tak pernah sampai ke luar pagar. Hanya berputar-putar di sekitar rumah. Jika mereka lapar, tinggal ambil persediaan makanan di lemari pendingin.

Jika persediaan habis, ia hanya perlu menyalakan radio rakitan bermikrofon dan menyetel saluran 98.05 sesuai petunjuk ayahnya yang tertulis di atas meja makan.

Lewat saluran itu, Hanako bisa langsung menghubungi penyuplai makanan khusus untuk warga Jepang di pusat kota A. Nantinya sewaktu persediaan habis, akan ada kendaraan bermuatan makanan menuju lokasi penerima.
***
Bulan Juli, Tahun 1944

Inilah kota A. Jakarta Toko Betsu Shi. Setiap pagi, warga kota A melakukan saikerai ke arah timur dan utara, arah yang diyakini sebagai tempat keberadaan Kaisar Jepang. Layaknya suatu harmoni, seluruh warga kota A membungkukkan badan hingga 90 derajat ke arah tersebut, tak terkecuali Hanako yang turut melakukannya di halaman rumah.

“Tiada yang mampu menandingi matahari. Barang siapa berani melawan, ia akan menerima nasib seperti halnya salju mencair oleh sinar matahari.”

Begitulah bunyi maklumat perwakilan Kaisar Jepang yang tersiar di radio. Maklumat itu diulang-ulang tiap hari di radio sampai Hanako hafal bunyinya.

Setahun usai mengurung diri di rumah bekas Belanda, akhirnya ia memberanikan diri keluar pagar bersama Hanabi. Ia penasaran dengan keadaan di luar pagar. Mungkin saja ia menemukan teman baru.

“Jangan jauh-jauh, Hanabi.”

“Meow!”

Jalanan di luar begitu lengang seolah kuburan keramat. Hanya satu-dua kendaraan melintas. Itu pun kepunyaan militer Jepang. Bendera hinomaru terpacak di mana-mana.

Hanako benci dengan bendera itu. Gara-gara demi menegakkan hinomaru atau bendera Jepang, ayahnya tak kembali untuk selama-lamanya. Kabar kematian ayahnya ia dapat dari mobil pengantar makanan 6 bulan setelah tinggal di rumah bekas Belanda itu. Ia harus berjuang sendirian untuk tahun-tahun berikutnya.

cerpenJatengKaisarkucingproklamasiSoekarno
Comments (0)
Add Comment