Kalau saja ia tahu takdir yang menimpa Rena, maka ia pasti akan mengabulkan permintaan terakhirnya untuk bertemu hari itu.
Risang menarik nafas panjang dan dalam. Takdir berbicara lain. Kereta api yang melaju kencang menyambar tubuh Rena sepulang dari gathering kantornya. Ia tak tak sempat merangkai kata-kata indah sebagai ucapan perpisahan padanya.
Hingga kini Risang masih belum percaya bahwa tubuh di dalam peti itu adalah tubuh Rena. Tubuh yang tak lagi utuh. Ia tak lagi mengenali tubuh dan wajah di dalam peti itu. Tiga hari berlalu dan belum sepenuhnya menerima kenyataan. Ia belum sepenuhnya percaya Rena telah tiada.
Ia memejamkan mata, teringat para pelayat yang datang dan mengajaknya bersalaman. Mereka menepuk pundaknya. Beberapa orang di antaranya merangkulnya erat sambil mengucapkan kata-kata yang tak bisa didengarnya.
Sedih, sesal, dan kehilangan yang luar biasa membuatnya berjarak dengan sekitar. Barangkali ia memang duduk di tempat itu, namun pikirannya melayang entah ke mana.
Ia tak lagi memiliki kesadaran utuh. Ia lebih banyak diam, mengangguk ketika seseorang berbicara, dan membayangkan serpih-serpih tubuh di dalam peti itu. Rasanya ia ingin segera lari dari tempat itu dan menangis sekeras-kerasnya.
Di antara para pelayat yang datang, ia merasa ada satu orang pelayat yang ganjil. Ia mengenakan hem hitam dengan lengan ditekuk hingga siku. Ia terlihat sebagai lelaki yang serius dan matang.
Lelaki itu ikut mengangkat peti jenazah. Ia berdiri di barisan paling depan dan bersikeras ikut membopong peti hingga pemakaman. Berkali-kali lelaki itu menyela peti yang disangga oleh ayah dan kakak Rena.