Untunglah budi baik Mang Bunawas tetap mengizinkan dirinya bekerja di sawah ladang miliknya. Dengan memberikan lokasi sawahnya yang rumit, berangkatlah Baridin membawa weluku di pundaknya. Akan tetapi suasana hati Baridin hancur ketika menanyakan jalan pada wanita cantik bertubuh sintal yang lancang omongannya.
“Sudahi hinaanmu, jangan banyak omong dan jangan liat tampangku. Lihat saja, aku akan mengejarmu!” katanya sambil mencoba mengoda.
“Aku tak sudi bersanding dengannmu!”
“Mungkin kamu sedang sakit, hingga tidak tahu hendak melamar siapa di hadapanmu.” katanya sambil berkacak pinggang. “Ratminah, anak Bapa Dam, orang terpandang se-kecamatan”
“Biarpun melarat, Baridin lelaki yang memiliki wewenang untuk mencintai wanita yang dipilih!”
“Seperti itu juga tergantung lelakinya, seperti ini juga tergantung perempuannya, perempuan sepertiku mahal harganya, tak pantas kau jodohnya!”
Mendengarnya seperti itu, hati Baridin yang semula hanya bercanda iseng menggodanya, sekarang malah terlanjur benar menaksirnya, kini dirinya telah tersulut api asmara dari keindahan seorang Ratminah putri Bapa Dam yang kaya raya dan telah kondang se-kecamatan itu.
“Kalau tidak tercapai maksudku, lebih baik aku sakit diderita cinta padamu.”
“Kalau terjadi demikian, aku lebih memilih gila dari pada hidup denganmu” jawabnya asal dan cepat.
“Apakah ucapanmu begitu sungguhan?” tanya Baridin memastikan, tidak percaya dengan ucapannya yang dianggap berani itu.
“Siap sumpah tujuh turunan!” jawabnya lagi seperti mengundang gemuruh guntur di langit dari ucapannya yang lancang.
Sementara caci maki masih berhamburan keluar dari mulut Ratmina, Baridin dihinakan dipandang seorang miskin yang hina dina tak karuan yang ucapannya telah lancang, lantaran pemuda melarat sepertinya berani melamar Ratminah yang hidup kaya raya bergelimang harta dan telah kondang se-Kecamatan.