Menyikapi ‘Kesambetnya’ Cak Nun

Oleh: Abdul Rohman

Cak… Itu panggilan yang nyaman bagi saya untuk budayawan Emha Ainun Najib. Sekarang rambutnya sudah putih. Wajahnya banyak kerutan. Banyak yang sudah memanggilnya Mbah. Tapi, saya nyaman panggil Cak. Seperti 20 tahun lalu.

Wajah kerut dan rambut putih. Persis tengara Presiden Jokowi tentang sosok yang tulus memikirkan bangsa. Tapi, kita abaikan tema ini.

Beberapa hari lalu Cak Nun mengaku kesambet. Sebelumnya ia statemen di sebuah forum. Ia mengata-ngatai presiden sebagai berkarakter Firaun, Antoni Salim sebagai Qorun dan Luhut sebagai Haman.

Banyak yang marah. Terutama pendukung Presiden Jokowi. Atau orang-orang yang mencari makan dengan nempil kawibawan (mencuil kewibawaan) dari Presiden Jokowi. Mungkin oleh kesadaran. Mungkin juga karena posisi dalam jabatan. Akhirnya bernada protes membully Cak Nun. Bahkan ada yang hendak melapor polisi.

Sepanjang saya tahu, Cak Nun orangnya ya seperti itu. Dari dulu. Ditakdirkan sejarah untuk menjadi orang yang selalu bersuara lain. Mencermati dari sudut pandang yang oleh orang lain tidak lakukan. Sejak dulu. Sejak era yang dikatakan era demokratis seperti saat ini.

Bahkan, sejak zaman Presiden Soeharto. Era di mana kalau menghentikan gerakan seseorang itu sangat mudah.

Tapi, dia eksis. Satir-satirnya meluncur deras. Mudah dipahami penguasa yang mana yang jadi sasaran kritik. Sekali lagi ia eksis.

Harusnya era reformasi ini menjadikan ia lebih bebas bicara. Lebih merdeka bagi sosok seperti dia. Mengapresiasi perjalanan bangsanya.

Cak Nun membangun arena-arena diskusi. Ruang publik kebangsaan. Untuk membangun kesadaran kebangsaan.

Ia himpun sumberdaya dan sumberdana secara swakarsa. Tidak masuk APBN agenda-agendanya. Itu sudah puluhan tahun berlangsung.

BudayawanCak NunJakarta
Comments (0)
Add Comment